BPD: Sang Navigator Kebijakan Desa, Membangun Otonomi dengan Akal Sehat
Di tengah geliat otonomi desa yang semakin kuat pasca-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, desa tidak lagi sekadar entitas administratif, melainkan subjek pembangunan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks ini, keberadaan Tubuh Permusyawaratan Desa (BPD) bukan hanya pelengkap struktur pemerintahan desa, melainkan pilar penting yang berperan sebagai navigator dan penjaga nalar dalam setiap proses pengambilan kebijakan. BPD adalah representasi nyata dari kedaulatan rakyat di tingkat desa, memastikan setiap keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Kedudukan Hukum dan Mandat BPD
Secara yuridis, BPD memiliki kedudukan yang setara dengan Pemerintah Desa (Kepala Desa dan perangkatnya) dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa. UU Desa secara tegas memberikan mandat kepada BPD untuk:
- Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa.
- Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa (Ranperdes) bersama Kepala Desa.
- Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Dari ketiga mandat utama ini, terlihat jelas bahwa BPD bukanlah sekadar lembaga formalitas, melainkan memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi yang krusial. Perannya dalam pengambilan kebijakan terwujud melalui tiga dimensi utama: inisiasi dan pembahasan regulasi, pengawasan implementasi, serta artikulasi kepentingan publik.
BPD dalam Proses Pengambilan Kebijakan: Lebih dari Sekadar Pengawas
Peran BPD dalam pengambilan kebijakan desa dapat diurai sebagai berikut:
-
Arsitek Regulasi Desa (Perdes):
BPD memiliki hak untuk menginisiasi Ranperdes atau membahas Ranperdes yang diajukan oleh Kepala Desa. Dalam proses ini, BPD berfungsi sebagai "filter" dan "penyempurna" rancangan aturan. Mereka memastikan bahwa setiap pasal, ayat, dan norma dalam Perdes:- Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
- Relevan dan solutif terhadap permasalahan yang ada di desa.
- Mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal dan aspirasi mayoritas masyarakat.
- Memiliki landasan yang kuat dan dapat diimplementasikan.
Kesepakatan bersama antara Kepala Desa dan BPD adalah kunci legalitas Perdes. Tanpa persetujuan BPD, sebuah Ranperdes tidak dapat disahkan menjadi Perdes. Ini menunjukkan kekuatan legislasi BPD yang fundamental.
-
Penjaga Anggaran dan Keuangan Desa (APBDes):
Salah satu kebijakan paling strategis di desa adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). BPD memiliki peran vital dalam pembahasan dan persetujuan Ranperdes tentang APBDes. Mereka memastikan alokasi anggaran:- Sesuai dengan skala prioritas pembangunan yang telah disepakati melalui Musyawarah Desa.
- Berorientasi pada kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat.
- Efektif, efisien, dan akuntabel.
Setelah APBDes disepakati, BPD juga bertugas mengawasi implementasinya. Pengawasan ini bukan hanya mencari kesalahan, tetapi memastikan setiap rupiah anggaran digunakan sesuai peruntukannya dan memberikan dampak positif bagi desa. Jika terjadi penyimpangan, BPD memiliki kewenangan untuk meminta klarifikasi, memberikan rekomendasi perbaikan, bahkan memproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum.
-
Jembatan Aspirasi dan Partisipasi Publik:
Fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat menjadikan BPD sebagai "corong" suara rakyat. BPD secara aktif menyelenggarakan musyawarah, jajak pendapat, atau forum-forum lain untuk menyerap masukan dari berbagai elemen masyarakat – mulai dari tokoh adat, tokoh agama, kelompok perempuan, pemuda, hingga kelompok rentan. Aspirasi yang terkumpul ini kemudian menjadi bahan pertimbangan utama dalam perumusan kebijakan, baik itu Perdes, program pembangunan, maupun alokasi anggaran. Dengan demikian, kebijakan yang lahir dari proses ini adalah kebijakan yang partisipatif dan memiliki legitimasi kuat dari masyarakat. -
Kontrol dan Akuntabilitas Kinerja Kepala Desa:
BPD memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja Kepala Desa. Pengawasan ini mencakup pelaksanaan Perdes, Peraturan Kepala Desa, APBDes, serta penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Hasil pengawasan ini menjadi bahan evaluasi yang disampaikan kepada Kepala Desa, dengan tujuan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan. Melalui fungsi pengawasan ini, BPD turut menjaga akuntabilitas dan transparansi pemerintahan desa, memastikan bahwa kebijakan yang telah disepakati benar-benar dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab.
Tantangan dan Optimalisasi Peran BPD
Meskipun memiliki kedudukan yang kuat, BPD seringkali menghadapi tantangan seperti keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, minimnya anggaran operasional, atau bahkan dominasi Kepala Desa dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, optimalisasi peran BPD membutuhkan:
- Peningkatan Kapasitas Anggota BPD: Melalui pelatihan dan bimbingan teknis yang relevan.
- Sinergi yang Harmonis: Antara BPD dan Pemerintah Desa, dengan tetap menjaga fungsi checks and balances.
- Pemberdayaan Masyarakat: Agar lebih aktif dalam menyalurkan aspirasi melalui BPD.
- Transparansi Informasi: Pemerintah Desa wajib menyediakan informasi yang cukup bagi BPD untuk menjalankan fungsinya.
Kesimpulan
BPD bukan sekadar lembaga pengawas, melainkan navigator utama yang menentukan arah kebijakan desa. Dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi yang dimilikinya, BPD adalah pilar demokrasi desa yang memastikan setiap kebijakan yang diambil berlandaskan pada akal sehat, kebutuhan nyata masyarakat, dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Kedudukan BPD yang kuat dalam pengambilan kebijakan adalah kunci menuju desa yang mandiri, partisipatif, dan sejahtera, mewujudkan otonomi desa yang sejati.