Jebakan Popularitas dan Kocek Tebal: Menguak Akibat Sistem Pemilu Sepadan Terbuka Terhadap Mutu Perwakilan Politik
Demokrasi modern di banyak negara, termasuk Indonesia, seringkali dihadapkan pada dilema antara idealisme partisipasi rakyat dan realitas kualitas perwakilan. Salah satu elemen krusial dalam dinamika ini adalah sistem pemilihan umum. Sistem pemilu sepadan terbuka, yang memungkinkan pemilih mencoblos langsung kandidat perseorangan dari daftar partai, diadopsi dengan harapan meningkatkan akuntabilitas kandidat kepada pemilih dan memperkuat ikatan personal antara keduanya. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini justru memunculkan serangkaian konsekuensi yang patut dicermati terhadap mutu perwakilan politik.
Mengenal Sistem Pemilu Sepadan Terbuka
Sistem pemilu sepadan terbuka adalah varian dari sistem proporsional di mana kursi legislatif didistribusikan kepada partai politik secara proporsional berdasarkan perolehan suara mereka. Namun, yang membedakannya adalah di dalam daftar calon partai tersebut, pemilih memiliki kebebasan untuk memilih kandidat individu yang mereka inginkan, bukan sekadar mencoblos lambang partai. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di internal partai (dan partainya memenuhi ambang batas parlemen) berhak mendapatkan kursi. Idealnya, ini akan mendorong kandidat untuk bekerja keras mendekati konstituen dan lebih responsif terhadap aspirasi mereka.
Dampak Negatif Terhadap Mutu Perwakilan Politik:
Namun, harapan ideal ini seringkali terbentur realitas pahit. Beberapa akibat sistem pemilu sepadan terbuka terhadap mutu perwakilan politik antara lain:
-
Biaya Politik yang Melambung Tinggi dan Potensi Korupsi:
Persaingan antar kandidat, bahkan di dalam satu partai yang sama, menjadi sangat intens. Setiap kandidat harus berjuang untuk mendapatkan suara pribadi sebanyak-banyaknya. Hal ini mendorong mereka untuk mengeluarkan biaya kampanye yang sangat besar, mulai dari pemasangan alat peraga, pertemuan tatap muka, hingga biaya logistik. Akibatnya, hanya kandidat dengan modal finansial kuat atau dukungan konglomerat yang memiliki peluang besar. Fenomena "politik uang" atau "transaksional" menjadi sulit dihindari, di mana uang menjadi penentu utama kemenangan. Ini jelas mengikis integritas dan membuka pintu bagi korupsi setelah kandidat terpilih, karena mereka mungkin merasa perlu "mengembalikan modal" kampanye. -
Fragmentasi Partai dan Melemahnya Soliditas Internal:
Ketika setiap kandidat bersaing secara individual, loyalitas terhadap partai dapat tergerus. Calon-calon dalam satu partai bisa saling menjatuhkan atau berebut suara di daerah pemilihan yang sama. Konflik internal ini dapat merusak soliditas partai, melemahkan disiplin partai, dan menyulitkan partai untuk menyusun agenda legislasi yang koheren. Partai yang seharusnya menjadi pilar ideologi dan platform kebijakan, berisiko menjadi sekadar "kendaraan" bagi ambisi personal para politisi. -
Fokus pada Popularitas dan Pencitraan, Bukan Kompetensi atau Ideologi:
Untuk memenangkan persaingan individu, kandidat cenderung memprioritaskan popularitas dan pencitraan diri daripada substansi kebijakan atau rekam jejak kompetensi. Mereka mungkin lebih fokus pada janji-janji populis yang mudah diingat, penampilan fisik, atau bahkan menggunakan figur selebriti untuk menarik massa. Debat substantif mengenai visi, misi, dan program kerja yang mendalam seringkali terpinggirkan. Akibatnya, wakil rakyat yang terpilih mungkin adalah mereka yang paling populer atau lihai dalam "berjualan diri," bukan mereka yang paling cakap, berintegritas, atau memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu publik. -
Tantangan Akuntabilitas dan Kualitas Legislasi:
Meskipun tujuannya adalah meningkatkan akuntabilitas, sistem ini justru dapat menciptakan "akuntabilitas semu." Wakil rakyat cenderung merasa lebih berutang budi kepada konstituen yang memberinya suara personal, atau bahkan kepada donatur kampanyenya, daripada kepada partai atau kepentingan publik yang lebih luas. Hal ini bisa membuat mereka lebih fokus pada kepentingan jangka pendek atau sektoral, ketimbang merumuskan legislasi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk kemaslahatan bangsa. Kualitas legislasi yang dihasilkan pun berisiko rendah karena kurangnya fokus pada visi jangka panjang dan seringkali didorong oleh kepentingan sesaat. -
Sulitnya Membangun Kaderisasi Politik yang Berkesinambungan:
Partai politik seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan pemimpin dan negarawan. Namun, dengan fokus pada popularitas individu dan persaingan bebas, proses kaderisasi yang terencana dan berbasis meritokrasi menjadi sulit. Kandidat yang memiliki potensi dan integritas tetapi tidak memiliki modal finansial atau popularitas instan, mungkin akan terpinggirkan. Ini merugikan pembangunan kapasitas politik jangka panjang sebuah negara.
Mencari Titik Keseimbangan
Sistem pemilu sepadan terbuka, meskipun memiliki niat baik untuk mendekatkan pemilih dengan wakilnya, pada praktiknya seringkali memunculkan "jebakan popularitas dan kocek tebal" yang justru mengikis mutu perwakilan politik. Hasilnya adalah lembaga legislatif yang mungkin diisi oleh individu-individu populer atau bermodal besar, namun belum tentu memiliki kapasitas, integritas, dan visi yang kuat untuk mengemban amanah rakyat.
Penting bagi kita untuk merefleksikan kembali sistem yang ada. Bukan berarti kembali ke sistem tertutup sepenuhnya, tetapi mencari titik keseimbangan. Penguatan peran partai politik sebagai institusi ideologi, reformasi pendanaan kampanye yang transparan dan akuntabel, serta peningkatan literasi politik masyarakat, adalah langkah-langkah krusial. Tujuannya adalah memastikan bahwa kursi legislatif diisi oleh mereka yang benar-benar mewakili aspirasi, memiliki kompetensi, dan berintegritas, demi kemajuan demokrasi yang lebih substantif dan bermartabat. Mutu perwakilan politik adalah cerminan dari mutu demokrasi itu sendiri.