Ketika Gender Bicara Kriminalitas: Mengurai Faktor dan Merancang Pendekatan Penanganan yang Berkeadilan
Dalam setiap narasi kejahatan yang kita dengar atau saksikan, seringkali ada satu pola yang mencolok: mayoritas pelaku kriminal adalah laki-laki. Statistik global secara konsisten menunjukkan disparitas gender yang signifikan dalam tingkat dan jenis kejahatan yang dilakukan. Namun, apakah ini berarti gender secara biologis adalah penentu mutlak perilaku kriminal? Atau, adakah lapisan-lapisan sosial, budaya, dan psikologis yang jauh lebih kompleks yang turut membentuk jejak kriminalitas seorang individu?
Artikel ini akan membedah bagaimana gender, sebagai konstruksi sosial dan identitas pribadi, berinteraksi dengan faktor-faktor lain untuk memengaruhi kecenderungan seseorang terlibat dalam perilaku kriminal, serta bagaimana kita seharusnya mendekati penanganan isu ini secara lebih adil dan efektif.
Memahami Disparitas Gender dalam Kriminalitas
Secara umum, laki-laki lebih sering terlibat dalam kejahatan kekerasan, perampokan, dan kejahatan terorganisir, sementara perempuan, meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit, cenderung terlibat dalam kejahatan properti skala kecil, penipuan, atau kejahatan yang berkaitan dengan narkoba. Penting untuk dicatat bahwa ini adalah pola umum, bukan aturan mutlak. Lalu, apa saja faktor di balik pola ini?
Faktor-faktor yang Membentuk Perilaku Kriminal Berbasis Gender:
-
Faktor Biologis dan Psikologis (Dengan Catatan Penting):
- Hormonal dan Struktur Otak: Beberapa studi menunjukkan perbedaan hormonal (misalnya testosteron yang lebih tinggi pada pria) atau struktur otak tertentu mungkin berkorelasi dengan tingkat agresi atau pengambilan risiko. Namun, korelasi ini sangat lemah dan tidak pernah menjadi satu-satunya penentu. Pengaruh biologis selalu berinteraksi kompleks dengan lingkungan.
- Perbedaan Temperamen: Secara umum, laki-laki cenderung lebih impulsif dan mengambil risiko, sementara perempuan cenderung lebih empatik dan berorientasi pada hubungan. Namun, ini juga sangat dipengaruhi oleh sosialisasi.
-
Faktor Sosial dan Kultural (Faktor Dominan):
- Peran Gender dan Ekspektasi Sosial:
- Maskulinitas Toksik: Masyarakat sering kali menanamkan definisi "kejantanan" yang sempit pada laki-laki, yang menekankan kekuatan, dominasi, agresi, penekanan emosi, dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan tanpa menunjukkan kerentanan. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi ini dapat mendorong laki-laki untuk menggunakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah, membuktikan diri, atau mempertahankan "harga diri."
- Femininitas Tradisional: Perempuan seringkali diharapkan untuk menjadi pasif, patuh, dan non-konfrontatif. Ini bisa mengurangi kemungkinan mereka terlibat dalam kejahatan kekerasan. Namun, ketika mereka melakukan kejahatan, seringkali itu adalah respons terhadap kekerasan atau penindasan yang mereka alami (misalnya, kejahatan bela diri, atau kejahatan yang didorong oleh kemiskinan ekstrem).
- Sosialisasi dan Pembentukan Identitas: Sejak kecil, anak laki-laki dan perempuan disosialisasikan secara berbeda melalui mainan, media, pendidikan, dan interaksi keluarga. Lingkungan ini membentuk persepsi mereka tentang apa yang "normal" atau "diterima" bagi gender mereka, termasuk dalam konteks konflik dan kekerasan.
- Struktur Kesempatan dan Kemiskinan: Laki-laki dan perempuan sering memiliki akses yang berbeda terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi. Kemiskinan dan kurangnya kesempatan ekonomi adalah pendorong kriminalitas yang kuat, dan bagaimana gender memengaruhi akses ini bisa menjelaskan perbedaan pola kejahatan.
- Pengalaman Viktimisasi dan Trauma: Banyak perempuan yang terlibat dalam kejahatan memiliki riwayat panjang kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau trauma lainnya. Kejahatan yang mereka lakukan bisa jadi merupakan mekanisme koping yang salah, respons putus asa, atau bahkan tindakan bela diri.
- Sistem Peradilan Pidana: Sistem ini sendiri bisa memiliki bias gender. Misalnya, kejahatan yang dilakukan perempuan mungkin kurang dilaporkan, atau perempuan mungkin diperlakukan lebih lunak untuk kejahatan tertentu (efek "chivalry"), atau sebaliknya, mereka mungkin lebih keras dihukum jika melanggar norma gender (misalnya, ibu yang menelantarkan anak).
- Peran Gender dan Ekspektasi Sosial:
Pendekatan Penanganan yang Berkeadilan dan Komprehensif:
Memahami faktor-faktor di atas menuntun kita pada kesimpulan bahwa penanganan perilaku kriminal berbasis gender tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan pendekatan yang:
-
Sensitif Gender dalam Pencegahan (Preventif):
- Pendidikan Sejak Dini: Mengajarkan konsep maskulinitas sehat dan femininitas yang memberdayakan, mematahkan stereotip gender yang merugikan, dan mengajarkan keterampilan resolusi konflik non-kekerasan.
- Penguatan Ekonomi dan Sosial: Memberikan akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan, dan peluang ekonomi bagi semua gender, terutama bagi kelompok rentan.
- Program Anti-Kekerasan Berbasis Gender: Mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan yang seringkali menjadi pemicu bagi korban untuk kemudian menjadi pelaku.
- Dukungan Keluarga: Memperkuat peran keluarga dalam sosialisasi yang positif dan penyediaan lingkungan yang aman.
-
Rehabilitasi dan Intervensi yang Peka Gender:
- Program Khusus untuk Laki-laki: Mengatasi masalah maskulinitas toksik, manajemen amarah, dan pengembangan ekspresi emosi yang sehat.
- Program Khusus untuk Perempuan: Fokus pada penanganan trauma, kesehatan mental, keterampilan hidup, dan dukungan untuk mengatasi siklus kekerasan dan kemiskinan yang mungkin mereka alami.
- Layanan Kesehatan Mental: Menyediakan akses yang memadai bagi semua narapidana, dengan mempertimbangkan perbedaan cara gender mengekspresikan masalah kesehatan mental.
-
Reformasi Sistemik dalam Peradilan Pidana:
- Pelatihan Sensitivitas Gender: Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) perlu dilatih untuk memahami bias gender dan faktor-faktor yang mendorong kejahatan pada masing-masing gender.
- Pengumpulan Data Terpilah Gender: Data yang akurat mengenai jenis kejahatan, latar belakang pelaku, dan respons sistem peradilan berdasarkan gender sangat penting untuk perumusan kebijakan yang efektif.
- Kebijakan yang Fleksibel: Mempertimbangkan faktor mitigasi seperti riwayat kekerasan atau trauma dalam kasus-kasus tertentu, terutama bagi perempuan pelaku.
- Alternatif Pemasyarakatan: Mencari alternatif selain penjara, terutama untuk kejahatan non-kekerasan, yang mungkin lebih efektif dalam merehabilitasi pelaku dan mengurangi stigma, khususnya bagi perempuan yang seringkali adalah tulang punggung keluarga.
Kesimpulan:
Perilaku kriminal bukanlah fenomena tunggal yang ditentukan oleh satu faktor. Interaksi kompleks antara biologi, psikologi, dan, yang terpenting, faktor sosial-kultural membentuk bagaimana gender memanifestasikan diri dalam pola kejahatan. Untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil, kita tidak bisa lagi mengabaikan peran gender. Pendekatan yang komprehensif, sensitif gender, dan berfokus pada akar masalah – bukan hanya gejala – adalah kunci untuk mengurangi angka kriminalitas dan membangun sistem peradilan yang benar-benar berkeadilan bagi setiap individu, terlepas dari gendernya.