Bukan Sekadar Masalah Personal: Menelisik Lingkungan Sosial Pemicu KDRT
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah luka menganga dalam tatanan sosial yang seringkali disalahartikan hanya sebagai masalah personal atau konflik internal keluarga. Padahal, fenomena kompleks ini memiliki akar yang kuat dan dalam pada faktor-faktor lingkungan sosial yang secara signifikan meningkatkan risiko dan prevalensinya. Memahami dimensi sosial ini krusial untuk merancang intervensi yang efektif, bukan hanya mengobati gejalanya, melainkan memberantas akarnya. Artikel ini akan menelisik beberapa faktor lingkungan sosial utama yang berkontribusi pada peningkatan kasus KDRT.
1. Ketidaksetaraan Gender dan Budaya Patriarki
Ini adalah salah satu pilar utama pemicu KDRT. Masyarakat yang masih menganut budaya patriarki cenderung menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat. Pandangan ini menormalisasi dominasi laki-laki dan bahkan dapat membenarkan kekerasan sebagai cara untuk ‘mendisiplinkan’ pasangan atau anggota keluarga. Dalam lingkungan seperti ini, perempuan seringkali memiliki kekuasaan yang lebih rendah dalam pengambilan keputusan, akses yang terbatas pada sumber daya, dan tekanan sosial untuk menoleransi perlakuan buruk demi menjaga keutuhan keluarga atau reputasi. Ketika norma sosial membenarkan kendali laki-laki atas perempuan, kekerasan menjadi alat untuk mempertahankan kontrol tersebut.
2. Kemiskinan dan Ketidaksetaraan Ekonomi
Tekanan finansial yang ekstrem dapat memicu stres, frustrasi, dan ketidakberdayaan yang pada gilirannya dapat meledak menjadi tindakan kekerasan. Dalam konteks KDRT, kemiskinan seringkali memperburuk ketidakseimbangan kekuasaan, di mana pihak yang lebih dominan secara ekonomi menggunakan kekerasan sebagai alat kontrol terhadap pasangan atau anggota keluarga yang lebih lemah secara finansial. Kurangnya akses terhadap pekerjaan yang layak, pendidikan, atau sumber daya lainnya dapat membuat korban KDRT sulit melepaskan diri dari siklus kekerasan karena ketergantungan ekonomi.
3. Minimnya Pendidikan dan Literasi Sosial
Tingkat pendidikan yang rendah seringkali berkorelasi dengan pemahaman yang terbatas mengenai hak asasi manusia, pola komunikasi yang sehat, dan strategi penyelesaian konflik non-kekerasan. Individu dengan literasi sosial yang minim mungkin tidak memiliki keterampilan untuk mengelola emosi secara konstruktif atau menyelesaikan perselisihan tanpa menggunakan kekerasan. Mereka juga mungkin kurang menyadari hak-hak mereka sebagai individu atau konsekuensi hukum dari tindakan kekerasan, sehingga perpetuasi KDRT menjadi lebih mudah terjadi.
4. Toleransi Sosial dan Normalisasi Kekerasan
Ketika masyarakat secara luas menoleransi atau bahkan menormalisasi tindakan kekerasan dalam rumah tangga (dengan dalih ‘urusan rumah tangga’, ‘aib keluarga’, atau ‘masalah pribadi’), kasus KDRT cenderung meningkat dan sulit diatasi. Lingkungan sosial yang pasif dan enggan ikut campur dalam urusan KDRT memberikan ruang bagi pelaku untuk terus beraksi tanpa konsekuensi berarti. Stigma yang melekat pada korban juga seringkali membuat mereka enggan untuk mencari bantuan, takut akan penghakiman sosial atau memperburuk situasi mereka.
5. Isolasi Sosial dan Kurangnya Jaringan Dukungan
Lingkungan sosial yang kurang kohesif atau individu yang terisolasi dari keluarga, teman-teman, atau komunitas yang suportif lebih rentan terhadap KDRT. Korban seringkali merasa terjebak karena tidak ada tempat untuk mengadu, mencari perlindungan, atau mendapatkan dukungan emosional. Sementara itu, pelaku mungkin tidak memiliki mekanisme akuntabilitas dari lingkup sosialnya, memungkinkan perilaku kekerasan mereka terus berlanjut tanpa tantangan.
6. Paparan Kekerasan di Masa Kecil (Siklus Kekerasan)
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan di mana kekerasan adalah hal yang lumrah, baik sebagai korban maupun saksi, memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku atau korban KDRT di kemudian hari. Mereka mungkin belajar bahwa kekerasan adalah cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah atau mendapatkan kontrol. Ini adalah siklus kekerasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk norma perilaku yang merusak dalam keluarga dan masyarakat.
Kesimpulan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukanlah sekadar isu pribadi di balik pintu tertutup, melainkan cerminan dari kompleksitas dan kerapuhan tatanan sosial kita. Faktor-faktor lingkungan sosial seperti ketidaksetaraan gender, kemiskinan, minimnya pendidikan, toleransi sosial, isolasi, dan siklus kekerasan secara signifikan memupuk dan melanggengkan praktik KDRT.
Untuk memberantas KDRT, diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada intervensi pasca-kejadian, tetapi juga pada pencegahan dengan mengatasi akar masalah di lingkungan sosial. Ini membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan setiap individu untuk membangun masyarakat yang lebih setara, suportif, dan menolak segala bentuk kekerasan. Hanya dengan begitu, rumah dapat kembali menjadi tempat yang aman dan surga bagi setiap penghuninya.