Kedudukan Departemen Sosial dalam Penindakan Penyandang Disabilitas

Ketika Perlindungan Menjadi ‘Penindakan’: Menimbang Peran Kementerian Sosial terhadap Penyandang Disabilitas

Di tengah hiruk pikuk kota, kita seringkali menyaksikan pemandangan yang mengundang simpati sekaligus pertanyaan: penyandang disabilitas yang berada di jalanan, meminta-minta, atau hidup tanpa tempat tinggal layak. Dalam konteks ini, Kementerian Sosial (Kemensos) kerap hadir, melakukan apa yang sering disebut publik sebagai "penindakan." Namun, benarkah Kemensos bertindak sebagai penindak? Atau ada makna lain di balik langkah-langkah mereka yang terkadang menimbulkan perdebatan sengit?

Memahami kedudukan Kemensos dalam isu penyandang disabilitas memerlukan penelusuran lebih dalam terhadap mandat, praktik, dan tantangan yang mereka hadapi, terutama dalam kerangka hak asasi manusia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Mandat dan Filosofi Awal: Pelindung dan Pemberdaya

Secara fundamental, Kemensos memiliki mandat mulia sebagai garda terdepan perlindungan sosial di Indonesia. Tugasnya mencakup rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin. Bagi penyandang disabilitas, Kemensos seharusnya menjadi institusi yang memastikan hak-hak mereka terpenuhi, mulai dari aksesibilitas, pendidikan, pekerjaan, hingga hidup layak dan bebas dari diskriminasi.

Filosofi yang mendasari peran ini adalah pendekatan berbasis hak (rights-based approach), yang mengakui bahwa penyandang disabilitas adalah subjek hukum yang setara dengan hak-hak yang sama. Mereka bukan objek belas kasihan, melainkan warga negara yang berhak atas partisipasi penuh dalam masyarakat. Dalam konteks ini, "penindakan" yang dilakukan oleh Kemensos sejatinya harus dipahami sebagai "penjangkauan" (outreach) dan "intervensi sosial" dengan tujuan utama melindungi, merehabilitasi, dan memberdayakan.

Realitas di Lapangan: Antara Penjangkauan dan ‘Penindakan’ yang Dipersepsikan

Praktik di lapangan seringkali menimbulkan persepsi yang berbeda. Ketika petugas Kemensos atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) – yang sering berkoordinasi dengan Kemensos – melakukan "razia" terhadap gelandangan, pengemis, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) termasuk penyandang disabilitas di jalanan, tindakan ini kerap dimaknai sebagai "penindakan" yang bersifat represif. Penyandang disabilitas yang terjaring seringkali dibawa ke panti sosial atau rumah singgah.

  • Aspek Positif yang Tersembunyi: Dari sudut pandang Kemensos, tindakan ini bertujuan untuk menyelamatkan penyandang disabilitas dari kondisi eksploitatif, bahaya di jalanan, atau kondisi yang tidak manusiawi. Ini adalah bentuk perlindungan dari risiko sosial, di mana mereka akan mendapatkan akses ke makanan, tempat tinggal sementara, perawatan medis, dan program rehabilitasi sosial. Ini adalah upaya untuk mengembalikan martabat mereka dan memberikan kesempatan untuk hidup yang lebih baik.

  • Aspek Kontroversial dan Kritik: Namun, tindakan ini seringkali dikritik karena:

    1. Pelanggaran Kebebasan: Terjaringnya penyandang disabilitas dari jalanan, meskipun dengan niat baik, bisa dianggap sebagai pembatasan kebebasan bergerak dan hak untuk memilih tempat tinggal.
    2. Stigmatisasi dan Institusionalisasi: Penempatan di panti sosial, meski bertujuan baik, berisiko mengarah pada segregasi dan institusionalisasi, menjauhkan mereka dari masyarakat dan keluarga. Ini bertentangan dengan semangat inklusi dan hak untuk hidup di komunitas (community living) sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
    3. Tidak Mengatasi Akar Masalah: "Penindakan" semata tanpa penanganan akar masalah (kemiskinan, diskriminasi, kurangnya akses layanan, penelantaran keluarga) hanya menjadi solusi sementara yang bersifat siklus. Penyandang disabilitas yang direhabilitasi seringkali kembali ke jalanan jika tidak ada dukungan berkelanjutan.
    4. Pendekatan Kuratif, Bukan Preventif: Kebijakan lebih sering reaktif (menangani yang sudah di jalanan) daripada proaktif (mencegah penyandang disabilitas sampai di jalanan melalui dukungan keluarga, pendidikan, dan pekerjaan).

Membangun Paradigma Baru: Dari ‘Penindakan’ Menuju Inklusi Berbasis Hak

Kementerian Sosial memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang sesungguhnya dalam isu disabilitas. Ini memerlukan pergeseran paradigma dari pendekatan yang berpotensi menjadi ‘penindakan’ menjadi pendekatan yang sepenuhnya berbasis hak, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan.

Beberapa langkah kunci yang perlu dioptimalkan:

  1. Penguatan Pencegahan dan Dukungan Keluarga: Investasi pada program pencegahan yang kuat, seperti dukungan bagi keluarga penyandang disabilitas agar mereka tidak terlantar atau terpaksa turun ke jalan.
  2. Rehabilitasi Sosial Berbasis Komunitas: Mendorong model rehabilitasi yang terintegrasi dengan komunitas, bukan hanya di panti-panti. Ini termasuk layanan kesehatan mental, pendidikan vokasi, dan pendampingan untuk hidup mandiri.
  3. Koordinasi Lintas Sektor: Meningkatkan koordinasi dengan kementerian/lembaga lain (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah daerah, kepolisian) serta organisasi penyandang disabilitas (DPO) untuk penanganan yang komprehensif.
  4. Edukasi dan Pelatihan Petugas: Memberikan pelatihan berkelanjutan kepada petugas lapangan (pekerja sosial, Satpol PP) mengenai hak-hak penyandang disabilitas, komunikasi yang sensitif disabilitas, dan pendekatan tanpa kekerasan.
  5. Pendekatan Personal dan Partisipatif: Setiap intervensi harus didasarkan pada asesmen individual dan melibatkan partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam menentukan jalur pemulihan dan pemberdayaan mereka.
  6. Penguatan Data dan Riset: Membangun sistem data yang akurat tentang penyandang disabilitas dan akar masalah mereka untuk merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Kesimpulan

Kedudukan Kementerian Sosial terhadap penyandang disabilitas sejatinya adalah sebagai pelindung, pendamping, dan fasilitator hak-hak mereka. Istilah "penindakan" yang melekat pada beberapa praktik Kemensos seringkali merupakan misinterpretasi atau akibat dari implementasi yang kurang tepat dari sebuah niat baik.

Tantangan utama Kemensos adalah bagaimana mentransformasi setiap intervensi agar benar-benar merefleksikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, martabat, dan inklusi. Dengan bergerak melampaui sekadar "penyelamatan" dan fokus pada pemberdayaan holistik, Kemensos dapat menjadi mercusuar harapan yang nyata bagi jutaan penyandang disabilitas di Indonesia, memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat dan berkontribusi penuh pada bangsa.

Exit mobile version