Berita  

Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan?

Jeritan yang Terabaikan: Kekerasan terhadap Perempuan Kian Memuncak, Di Mana Perlindungan?

Di balik gemerlap kemajuan zaman dan janji-janji kesetaraan, realitas pahit masih membayangi sebagian besar populasi dunia: perempuan. Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, bukan hanya sekadar isu personal, melainkan pandemi sosial yang terus meningkat, menyisakan pertanyaan mendalam: di mana perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan?

Data dari berbagai lembaga, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), secara konsisten menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia bahkan memperparah kondisi ini, di mana karantina dan isolasi justru menjadi "penjara" bagi banyak perempuan yang terperangkap bersama pelaku di rumah. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat teraman justru berubah menjadi arena kekerasan yang tak berkesudahan.

Realitas yang Mengkhawatirkan

Peningkatan kasus ini bukan hanya statistik semata, melainkan kisah nyata tentang rasa sakit, trauma, dan hilangnya harkat martabat. Bentuk kekerasan yang dialami pun beragam: dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencakup penamparan, tendangan, ancaman, hingga pelecehan seksual di ruang publik maupun daring, perkosaan, eksploitasi, hingga pembatasan ekonomi yang merampas kemandirian perempuan. Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah orang-orang terdekat, mulai dari pasangan, anggota keluarga, hingga rekan kerja atau kenalan.

Dampak dari kekerasan ini sangat destruktif. Korban seringkali menderita luka fisik yang parah, trauma psikologis jangka panjang seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), hingga keinginan untuk bunuh diri. Secara sosial, mereka bisa terisolasi, kehilangan pekerjaan, putus sekolah, dan kesulitan membangun kembali kehidupan normal. Lingkaran setan kekerasan ini bahkan bisa diturunkan ke generasi berikutnya, menciptakan siklus trauma yang sulit diputus.

Tantangan dalam Perlindungan: Mengapa Sulit Mendapat Keadilan?

Pertanyaan "Di mana perlindungan?" menjadi sangat relevan mengingat banyaknya hambatan yang dihadapi perempuan korban kekerasan:

  1. Stigma dan Budaya Patriarki: Masyarakat seringkali menyalahkan korban (victim blaming), menganggap kekerasan adalah aib keluarga yang harus ditutupi, atau bahkan membenarkan kekerasan dengan dalih tradisi atau agama. Hal ini membuat korban takut untuk berbicara dan mencari bantuan.
  2. Lemahnya Penegakan Hukum: Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan yang terbaru, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), implementasinya masih menghadapi tantangan. Proses hukum yang berbelit, minimnya sensitivitas gender dari aparat penegak hukum, dan kurangnya bukti yang kuat seringkali menghambat korban mendapatkan keadilan.
  3. Keterbatasan Layanan Pendampingan: Lembaga layanan seperti rumah aman, pusat krisis, dan pendampingan psikologis masih terbatas, baik dari segi jumlah, jangkauan, maupun kualitas sumber daya manusia. Banyak korban di daerah terpencil kesulitan mengakses layanan ini.
  4. Ketergantungan Ekonomi: Banyak perempuan korban kekerasan, terutama dalam KDRT, secara finansial bergantung pada pelaku. Hal ini membuat mereka sulit untuk meninggalkan lingkungan kekerasan karena takut tidak bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak.
  5. Kurangnya Edukasi dan Kesadaran: Minimnya pemahaman tentang hak-hak perempuan dan bentuk-bentuk kekerasan yang beragam membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka adalah korban, atau tidak tahu ke mana harus mencari bantuan.

Membangun Jaring Perlindungan yang Kuat

Untuk menghentikan gelombang kekerasan ini, dibutuhkan upaya kolektif dan komprehensif dari seluruh elemen masyarakat:

  • Pemerintah: Harus memperkuat penegakan hukum UU PKDRT dan UU TPKS, memastikan aparat penegak hukum memiliki sensitivitas gender, menyediakan anggaran yang cukup untuk layanan korban, serta memperluas jangkauan rumah aman dan pusat krisis di seluruh wilayah.
  • Masyarakat: Perlu mengikis budaya patriarki dan stigma terhadap korban. Pendidikan sejak dini tentang kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sangat penting. Masyarakat harus menjadi lingkungan yang aman bagi korban untuk berbicara dan mencari dukungan.
  • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Komnas Perempuan: Peran mereka sangat krusial dalam mendampingi korban, melakukan advokasi kebijakan, serta meningkatkan kesadaran publik.
  • Individu: Setiap orang memiliki peran untuk tidak diam ketika melihat atau mengetahui kekerasan. Menjadi pendengar yang baik bagi korban, memberikan dukungan, dan membantu mereka mencari bantuan adalah langkah awal yang vital. Laki-laki juga memiliki peran penting sebagai agen perubahan untuk mengakhiri kekerasan ini.

Kekerasan terhadap perempuan adalah cerminan dari kegagalan kita sebagai masyarakat untuk melindungi separuh populasi kita. Sudah saatnya kita tidak hanya berempati, tetapi bertindak. Mari bersama-sama membangun jaring perlindungan yang kokoh, di mana setiap perempuan dapat hidup bebas dari rasa takut, mendapatkan keadilan, dan meraih potensi penuhnya. Jeritan yang terabaikan harus segera dijawab dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji-janji kosong. Hanya dengan begitu, kita bisa melangkah menuju masyarakat yang benar-benar beradab dan setara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *